Tuesday, November 9, 2010

Bukan 'Itik' Biasa Part. 2

Lalu Kamu pun tetap setia, meski Aku telah berkali-kali melukaimu.


Hari demi hari, kulalui dengan penuh rasa ingin tahu. Ketika bel tanda istirahat dimulai, Aku bergegas bertengger di besi balkon depan kelas, hanya untuk sekedar 'mencari' pemandangan indah. Ah, kelasnya berada tepat di sebelah kelasku, senang rasanya, berharap cemas dan selalu menunggu kehadiran dia di sela-sela break ISOMA (istirahat makan siang).

Sesekali Aku menengokkan kepalaku. Melirik, mencari, kadang tersipu-sipu sendiri membayangkan dia. Untungnya, Aku memiliki beberapa teman juga di kelas sebelah si anak itu. Lalu dengan santainya dan tanpa malu-malu, Aku melenggangkan kaki di kelas temanku. Padahal sih, cuma sekedar ingin tahu saja keberadaan si anak itu.

Akhirnya, tanpa diduga sedikitpun, ternyata salah satu teman sekelasku, sebut saja namanya, Ibra, mengenal baik si anak itu, karena Ibra adalah teman sekompleknya. Waah, bergejolak rasanya hati ini, apalagi ditambah, Ibra mau memperkenalkanku kepada anak itu.

Aku berkenalan dengan penuh rasa Jaim (jaga image), padahal senang sekali akhirnya dapat menyentuh tangannya. Perkenalan kami lancar dan tanpa hambatan sama sekali, hingga suatu saat, anak itu, bermain ke rumahku, katanya sih, hanya ingin berbincang. Aku menanggapinya dengan malu-malu. Eh, tanpa disangka, dia menginginkan Aku bukan untuk hanya sekedar ingin 'berteman', namun 'pacaran'. JDERR! Jantungku rasanya mau meledak dan keluar dari tubuh.

Dan kujawab.. Oke.. Mulailah masalah baruku..

Aku menjalani masa pacaran ini kurang lebih tujuh bulan lamanya, namun selama tujuh bulan penuh rasa ketidakpercayaan, cemburu, sakit hati dan akhirnya munculah luka batin. Aku tidak dapat menyangkal bahwa, rasa ketidakpercayaan diriku yang amat besar, tidak sebanding dengan luka yang Aku hasilkan sendiri dalam hubungan tersebut. Aku pun menyerah, setelah kupikir-pikir, lebih baik berpisah demi kebaikan sendiri-sendiri.

Lalu seperti biasa, Aku pun terjebak lagi dalam lubang.. Namun kali ini cukup dalam..


Masuk sekolah seperti biasa. Dirumah Aku tersenyum simpul dan menunjukkan wajah ceria yang dibuat-buat. Aku tidak ingin orangtuaku tahu kondisi 'sepele' seorang anak SMA pada waktu itu. Sesampainya di sekolah, semua temanku mengetahui kondisi hubungan kami, lalu mereka berfikir untuk tidak menyinggung masalah itu lagi.

Bersambung lagi..

Bukan 'Itik' Biasa Part. 1

Tak pernah sama sekali terlintas dalam kepalaku, bahwa pada akhirnya Kamu akan menjadi milikku.

Pikiran masa-masa SMA pun berkelebat di otakku. Terkadang beberapa memori buruk maupun memori yang menyenangkan, datang dan pergi.

Ini sekedar ceritaku saat duduk di bangku SMA. Sebut saja namaku Vivi.
Kata teman-temanku, Aku itu orangnya cukup menyenangkan, pandai berolahraga, dan senang bergaul, kadang-kadang juga suka diam di rumah, anteng, hehe..

Begitu masa Orientasi siswa atau disingkat, MOS, dimulai, Aku, yang begitu sumringahnya telah resmi menjadi murid eh, siswi SMA, Cihuii! Aku mengikuti MOS ini dengan penuh semangat. Badanku terasa panas, seolah-olah api dalam ragaku ini meluncur keluar dari tiap titik keringat semangat yang menetes.

Setelah masa MOS-ku berakhir, jiwa semangat 'anak baru' ku masih ada. Aku makin tergerak oleh pembawaan ceriaku yang kuperlihatkan pada teman-teman baruku di kelas. Namun, untuk pertama kalinya juga, Aku mendapat nilai merah yang sangat sadis, ulangan matematika pertamaku di SMA, mendapat markah/nilai 0 (nol). Ingin rasanya menangis dan saat itupun juga, semangat 'anak baru' ku mulai menyusut, hari demi hari, karena mungkin sebetulnya, 'Orientasi' itu dimulai baru saja. Pikirku, what the hell?


Setelah berlarut-larut meratapi kertas ulangan yang lusuh, karena telah kukepalkan di tangan selama beberapa kali, tiba-tiba semangat 'itu' muncul kembali, namun kali ini, jenis semangat baru yang aneh. Membuat jantung berdebar kencang, hasrat untuk memiliki, hasrat untuk diperhatikan lebih, yap! lebih tepatnya, Aku jatuh cinta..

Bersambung dulu ya..

Apa Kata Orang 'itu' ya?

Yang gue tau dari hasil pencarian di Youtube ataupun 4shared, nama penyanyi dangdut Dina M******, kalau gak salah, beliau sukses membuat gue akhirnya dapat membuka hati untuk alunan musik dangdut di telinga gue.

Pertama kali, temen gue, anak Grafis di kantor gue yang sebelumnya, sebut saja namanya 'papih', seneng banget nyetel lagu khas Indonsia itu. Berkali-kali ngedengerin, sampe sumpek dan budek ini kuping.

Akhirnya gue pasrah, besoknya gue tegur si 'papih' itu : Pih, itu lagu apaan sih? please deh..
'papih' cuma ketawa lebaar banget, selebar wastafel (lebay). Dia bilang : Eh, ini 'khas' Indo, lu jangan macem-macem dong, tiap orang punya selera musik yang berbeda, seharusnya lo harus paham itu..

Denger dia ngomong gitu : Loh, kok marah sih?
Eh, dia bilang lagi : Enggaa kok.. hahahaha (bletak) eh, lengan gue digebuk.

Herannya lagi, beberapa hari setelah teguran yang gue layangkan ke beliau, ciaelaah.. loh?! kenapa gue jadi mulai kangen dengerin lagu  itu lagi? kok gue merasa ada yang hampa di ruangan tanpa lagu itu? Tapi, setelah gue pikir-pikir, untuk gue yang selalu kebanyakan mikir, lirik lagunya mengingatkan gue akan satu hal.

".. Desah hati, hanyaa.. sekedaar bertanyaa. Mengapa wajahmu selalu berbedaa.."
Kira-kira itu salah satu penggalan di awal pembuka lagunya. Apa ya? Gimana ya? hmm.. lagu ini 'beda' banget dengan sekumpulan lagu-lagu dangdut jaman sekarang, justru 'dangdut jadul' itu lebih orisinil, eh, bukan  maksudnya yang sekarang banyak yang enggak orisinil loh, cuma dari sekian  banyak dangdut 'modern' lebih mengarah pada seksualitas si penyanyinya itu sendiri.

Gak bisa dipungkiri loh. Ini sih menurut pandangan gue aja sebagai penikmat lagu 'dangdut jadul', iya gak sih? Anyone?

Monday, November 8, 2010

Aku dan Secangkir Susu Kopi

Sore ini Jakarta kembali tenang, setelah tadi pagi didera unjuk rasa beberapa pendemo (cek di update Twitter sih). Aku terduduk santai dengan sesekali melirik jendela besar sebuah gedung perkantoran di daerah Slipi. Dengan bermodalkan kacamata motif kayu (yah.. padahal sih kayu imitasi alias plastik), jariku lincah berlompatan menekan tombol keyboard lusuh ini dan menyayangkan kondisi mataku yang semakin merabun.

Aku ditemani secangkir kopi susu yang baru saja kubuat di pantry. Padahal, dulu Aku sama sekali tidak bisa membuat kopi. Dimintai tolong oleh papaku untuk membuat kopi hitam pekat saja, makin tidak bisa, hahaha.. jadi nostalgia sih.

Kopi susu yang tergeletak persis di depanku ini, diam tak  bergeming, baru setelah kuseruput perlahan (karena panas), permukaannya sedikit bergoyang. Lama sekali Aku memandangi cangkir merah tersebut, hingga akhirnya lamunanku dibuyarkan oleh suara bising AC tiba-tiba.

Menurutku, Kopi itu pahit, rasanya tidak enak, dan pastinya ada segelintir orang yang mual hanya karena mencium aroma kopinya saja. Tapi, ketika kita Aku benar-benar 'merasakan' kopi dan mencintai aromanya, gambaranku bagi si kopi adalah 'nikmat'.

Lalu Susu, dari namanya saja sudah memikat, apalagi bagi saya, si penggila susu. Kalau dipadukan dengan susu, kopi pun semakin 'nikmat' eh, bukan, 'mantap!'.

Aku belum bisa berargumen panjang mengenai si Kopi Susu ini, tapi yang dapat Aku sampaikan disini, bahwa, pekerjaan yang awalnya kita tidak tahu ataupun tak terlintas sama sekali di pikiran kita, lalu akhirnya justru kita ambil tersebut, sama seperti teori kopi susu yang tadi Aku ungkapkan.

Awalnya Aku memandang sebelah mata pekerjaan seorang Copywriter, karena Aku terlalu menitkberatkan pekerjaan berbau 'Art' pada setiap langkah yang kuambil, namun, sedikit demi sedikit, Aku terus belajar bagaimana membuat kopi yang 'nikmat', bukan bagaimana dapat kunikmati sendiri, tapi bagaimana menyajikannya untuk semua orang dengan cita rasa yang 'mantap' dan susu sebagai penambah cita rasanya.

Monday, August 23, 2010

Monalisa

Ia mengenakan cardigan merah dengan rambutnya yang bergelombang namun terikat rapi dengan kacamata motif kayunya yang menambah daya tarik matanya. Terduduk di sudut mejanya, menatap layar monitor dengan hampa. Matanya cukup berair, hingga rasanya tak mungkin lagi dapat dibendungnya. Menetes bulir air matanya, lalu dengan sigap, ia menyeka dengan handuk kecil berwarna pink miliknya. 

Gundah dengan segala permasalahan yang menimpa diri mudanya, gadis ini berteriak dalam hening. Bibirnya terkatup rapat, meski sesekali dimainkan. Jari lincahnya mengetik lihai, ia paling handal dalam hal ini.


Lalu dari kejauhan, tampak dua pasang mata, sesekali melirik gadis itu dengan pandangan sengit. Keadaan berubah drastis, semenjak gadis itu sakit. Gadis itu tahu, bahwa keputusannya untuk tetap bertahan dengan segala sesakitannya, pasti akan membuat perubahan besar dalam hidupnya. 

Dengan diam, hanya diam, tiba - tiba saja semua hening. Gadis tersebut tahu, hidup tak selalu harus sempurna di awal, justru yang diharapkan adalah akhir yang sempurna. Sesekali mendelik, bahunya kecil dan nyeri, tapi tetap terduduk diam di tempat.


Mona.

Friday, July 30, 2010